Swadee kaa..... :)
Kali ini, saya akan membahas tentang koperasi Pegawai Negeri..
Selama
satu dekade terakhir ini, perkembangan koperasi di wilayah Kabupaten
Grobogan --khususnya koperasi pegawai negeri, yang kini sebutannya
berubah menjadi KPRI (Koperasi Pegawai Republik Indonesia)-- mengalami
kemajuan signifikan. Pertumbuhan nilai asset, jumlah anggota, tingkat
pelayanan dan dengan sendirinya juga laba usaha sebagaimana tercermin
dalam struktur sisa hasil usaha (SHU) terus mengalami kecenderungan
(trend) meningkat seiring dengan ragam tuntutan anggota mengenai
pelayanan koperasi pegawai yang lebih prima.
Para
pengurus KPRI pada umumnya sudah sangat memahami landasan pengelolaan
koperasi yang pada prinsipnya menyangkut 3 (tiga) hal utama sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 29 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian, yakni, pertama bertanggungjawab secara penuh
untuk mengelola dan mengamankan asset kepemilikan anggota dan
berkewajiban secara maksimal untuk mengembangkannya; kedua
berkewajiban mengembangkan kreasi dalam upaya peningkatan kesejahteraan
anggota sebagai ekspresi kesungguhan dalam mengemban amanat dan
kepercayaan anggota; ketiga wajib mempertahankan aspek tranparansi dan
akuntabilitas dalam tata kelola kelembagaannya dengan melaporkan
seluruh aktifitas kelembagaan kepada anggota melalui Rapat Anggota
Tahunan (RAT) atau media lainnya, antara lain fasilitasi informasi
keuangan, program, layanan kebijakan dan kepentingan lain anggota.
Walaupun potensi assetnya sudah begitu besar, kekuatan ekonomi dimaksud masih dipandang sebelah mata karena berbagai faktor. Pertama,
aktifitas koperasi di lingkungan pegawai negeri acapkali masih dianggap
sebagai kegiatan “rukun menabung” karena personalia pengelolanya
(pengurus maupun pengawas) cenderung melaksanakan kewajibannya sebagai
“pekerjaan sambilan” disamping tugas pokoknya sebagai PNS aktif. Kedua, karena “core bisnisnya” lebih bertumpu pada kegiatan simpan pinjam maka “greget kelembagaannya” hanya dikenali di lingkungan internal koperasinya.
Jarang
sekali KPRI melebarkan sayapnya dengan membuka diversifikasi usaha
secara terbuka guna melayani kepentingan di luar kebutuhan anggota,
padahal ketentuannya memungkinkan.
Tantangan Masa Depan
Kecenderungan
perkembangan KPRI yang demikian pesat, justru memunculkan berbagai
tantangan di masa depan apabila tidak secara dini diambil
langkah-langkah antisipatif oleh pemerintah (termasuk pemerintah
daerah) dan tidak menutup kemungkinan munculnya persoalan-persoalan
signifikan yang dapat menimbulkan suasana kontra produktif bagi gerakan
KPRI secara keseluruhan. Tantangan tersebut meliputi beberapa hal
berikut:
1. Penataan Kelembagaan,
meliputi kejelasan tugas pokok dan fungsi para pengelola (pengurus
maupun pengawas). Bagi koperasi papan atas, perlakuan sebagai
“pekerjaan sambilan” tidak bisa lagi dapat dipertahankan. Kepemilikan
asset yang sudah mencapai milyaran memerlukan konsentrasi tata kelola
manajemen yang lebih focus. Oleh karena itu seyogyanya Pemerintah
Daerah berani menerbitkan ketentuan yang mengatur kepengurusan,
misalnya dengan terobosan konstruktif berupa pengaturan kepegawaian
dimana pengurus/pengawas KPRI yang bersangkutan dibebaskan dari tugas
organiknya namun dengan privilege tertentu (aplikasinya dapat merujuk ketika kepengurusan KORPRI di masa lalu diberikan kesetaraan eselenoring).
Selain hal itu setiap koperasi papan atas diwajibkan menyelenggarakan
Pendidikan dan Latihan (Diklat) bagi anggotanya setiap tahun melalui
Keputusan RAT/RAP dalam rangka membentuk kader-kader koperasi yang
profesional.
2. Penataan Ekonomi,
Limitasi pengenaan jasa anggota misalnya, harus ditetapkan batasan
tertinggi yang diperbolehkan dan kapan hal itu diberlakukan. Pemikiran
ini perlu dikemukakan karena fakta empiris di lapangan terdapat
tunggakan anggota koperasi yang “tetap dikenakan jasa berjalan”
sehingga nominal tunggakan menjadi demikian besar yang justru
menimbulkan piutang macet yang sama sekali tidak dapat ditarik kembali
karena perlakuan pembebanan “jasa yang bertubi-tubi”. Kondisi ini jelas bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (khusunya Pasal 2, 3 dan 4)
3. Kontinuitas Pembinaan.
Desain pembinaan sistemik, terstruktur danperlu segera dibangun yang
memungkinkan Pemerintah Daerah dapat mengawasi keberadaan serta
perkembangan koperasi pegawai negeri, sehingga persoalan-persoalan
krusial dapat segera diketahui lebih awal dan tidak mengakibatkan
permasalahan koperasi menjadi berlarut-larut penyelesaiannya.
Alternatif pilihannya dengan menyusun semacam PKPT (Program Kerja
Pembinaan Tahunan) dengan melibatkan segenap unsur lini pada Dinas
Koperasi dan UMKM.
sumber artikel nya klik disini :)
arigatou..............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar