Januari 19, 2013

Kekuatan Ekonomi yang masih dipandang sebelah mata

Swadee kaa..... :)

Kali ini, saya akan membahas tentang koperasi Pegawai Negeri..

Selama satu dekade terakhir ini, perkembangan koperasi di wilayah Kabupaten Grobogan   --khususnya koperasi pegawai negeri, yang kini sebutannya berubah menjadi KPRI (Koperasi Pegawai Republik Indonesia)--  mengalami kemajuan signifikan. Pertumbuhan nilai asset, jumlah anggota, tingkat pelayanan dan dengan sendirinya juga laba usaha sebagaimana tercermin dalam struktur sisa hasil usaha (SHU) terus mengalami kecenderungan (trend) meningkat seiring dengan ragam tuntutan anggota mengenai pelayanan koperasi pegawai yang lebih prima.

Para pengurus KPRI pada umumnya sudah sangat memahami landasan pengelolaan koperasi yang pada prinsipnya menyangkut 3 (tiga) hal utama sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 29  Undang-Undang No.  25 Tahun 1992  tentang Perkoperasian, yakni, pertama  bertanggungjawab secara penuh untuk mengelola dan mengamankan asset kepemilikan anggota dan berkewajiban  secara maksimal untuk mengembangkannya; kedua berkewajiban mengembangkan kreasi dalam upaya peningkatan kesejahteraan anggota sebagai ekspresi kesungguhan dalam mengemban amanat dan kepercayaan anggota; ketiga wajib mempertahankan aspek tranparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola kelembagaannya dengan melaporkan seluruh aktifitas kelembagaan kepada anggota melalui Rapat Anggota Tahunan (RAT) atau media lainnya, antara lain fasilitasi informasi keuangan, program, layanan kebijakan dan kepentingan lain anggota. 

Walaupun potensi assetnya sudah begitu besar, kekuatan ekonomi dimaksud masih dipandang sebelah mata karena berbagai faktor. Pertama, aktifitas koperasi di lingkungan pegawai negeri acapkali masih dianggap sebagai kegiatan “rukun menabung” karena personalia pengelolanya (pengurus maupun pengawas) cenderung melaksanakan kewajibannya sebagai “pekerjaan sambilan” disamping tugas pokoknya sebagai PNS aktif. Kedua, karena  “core bisnisnya” lebih bertumpu pada kegiatan simpan pinjam maka “greget kelembagaannya” hanya dikenali di lingkungan internal koperasinya. 

Jarang sekali KPRI melebarkan sayapnya dengan membuka diversifikasi  usaha secara terbuka guna melayani kepentingan di luar kebutuhan anggota, padahal ketentuannya memungkinkan.

Tantangan Masa Depan
Kecenderungan perkembangan KPRI yang demikian pesat, justru memunculkan berbagai tantangan di masa depan apabila tidak secara dini diambil langkah-langkah antisipatif oleh pemerintah (termasuk pemerintah daerah) dan tidak menutup kemungkinan munculnya persoalan-persoalan signifikan yang dapat menimbulkan suasana kontra produktif bagi gerakan KPRI secara keseluruhan. Tantangan tersebut meliputi beberapa hal berikut:

1. Penataan Kelembagaan, meliputi kejelasan tugas pokok dan fungsi para pengelola (pengurus maupun pengawas). Bagi koperasi papan atas, perlakuan sebagai “pekerjaan sambilan” tidak bisa lagi dapat dipertahankan. Kepemilikan asset yang sudah mencapai milyaran memerlukan konsentrasi tata kelola manajemen yang lebih focus. Oleh karena itu seyogyanya Pemerintah Daerah berani menerbitkan ketentuan yang mengatur kepengurusan, misalnya dengan terobosan konstruktif berupa pengaturan kepegawaian dimana pengurus/pengawas KPRI yang bersangkutan dibebaskan dari tugas organiknya namun dengan privilege tertentu (aplikasinya dapat merujuk ketika kepengurusan KORPRI di masa lalu diberikan kesetaraan eselenoring). Selain hal itu setiap koperasi papan atas diwajibkan menyelenggarakan Pendidikan dan Latihan (Diklat) bagi anggotanya setiap tahun melalui Keputusan RAT/RAP dalam rangka membentuk kader-kader koperasi yang profesional.

2. Penataan Ekonomi, Limitasi pengenaan jasa anggota misalnya, harus ditetapkan batasan tertinggi yang diperbolehkan dan kapan hal itu diberlakukan. Pemikiran ini perlu dikemukakan karena fakta empiris di lapangan terdapat tunggakan anggota koperasi yang “tetap dikenakan jasa berjalan” sehingga nominal tunggakan menjadi demikian besar yang justru menimbulkan piutang macet  yang sama sekali tidak dapat ditarik kembali  karena perlakuan pembebanan “jasa yang bertubi-tubi”. Kondisi ini jelas bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (khusunya Pasal 2, 3 dan 4)

3. Kontinuitas Pembinaan. Desain pembinaan sistemik, terstruktur danperlu segera dibangun yang memungkinkan Pemerintah Daerah dapat mengawasi keberadaan serta perkembangan koperasi pegawai negeri, sehingga persoalan-persoalan krusial dapat segera diketahui lebih awal dan tidak mengakibatkan permasalahan koperasi menjadi berlarut-larut penyelesaiannya. Alternatif pilihannya dengan menyusun semacam PKPT (Program Kerja Pembinaan Tahunan) dengan melibatkan segenap unsur  lini pada Dinas Koperasi dan UMKM.


 sumber artikel nya klik disini :) 
arigatou..............

Tidak ada komentar:

Posting Komentar